Pergantian Nakhoda Kapal dengan Jalan yang Tak Biasa

Terpopuler239 Dilihat

(Opini Politik dan Hukum – Provinsi Riau 2025)


Mentengnews.comJakarta:

Oleh: Dr. Dedek Gunawan , S.H.,M.H
Dosen dan Praktisi Hukum

Ketika sebuah kapal besar bernama Riau sedang berlayar menuju pelabuhan pembangunan, badai besar datang mendadak. Sang nakhoda Gubernur Abdul Wahid mendadak diturunkan dari anjungan kapal oleh tangan-tangan hukum. Operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sontak menjadi peristiwa politik terbesar di Riau tahun ini.

Namun, di balik gegap gempita penegakan hukum itu, tersimpan pertanyaan tajam apakah ini murni penegakan hukum, atau ada skenario politik yang tersusun rapi di balik layar?

Penegakan hukum semestinya menjadi jalan lurus menuju keadilan. Tetapi dalam praktik politik Indonesia, hukum kerap berbelok mengikuti arah angin kekuasaan. Dan di Riau, arah angin itu tampak berhembus terlalu cepat, terlalu kuat, dan terlalu “teratur” untuk disebut kebetulan.

Riau adalah tanah kaya akan minyak, gas, hutan, dan sawit ,semuanya menjadi sumber daya strategis yang menggoda. Namun di balik limpahan alam itu, tersimpan kutukan kekuasaan. Dalam dua dekade terakhir, sudah empat gubernur Riau ditangkap KPK.

Fakta ini bukan sekadar catatan kriminal, tetapi potret rapuhnya sistem politik dan birokrasi daerah. Riau seperti tak pernah belajar. Gubernur berganti, kasus berulang.

Yang berbeda kali ini adalah konteksnya. Abdul Wahid baru menjabat kurang dari satu tahun, dan beberapa kebijakan serta rotasi pejabatnya disebut tidak sejalan dengan kepentingan kelompok politik yang dulu mendukungnya. Ia juga digambarkan mulai membangun jaringan politik baru, di luar orbit lama.

Lalu badai datang. Penangkapan berlangsung cepat, dramatis, dan mengguncang. Prosesnya sah secara hukum, tapi terasa terlalu “sempurna” secara politik.

Ketika Hukum Menjadi Navigasi Kekuasaan

Dalam teori negara hukum (rechtstaat), hukum adalah panglima tertinggi. Namun dalam kenyataan, hukum sering kali menjadi pelayan kekuasaan bukan penuntun moral. Di sinilah perbedaan antara rule of law dan rule by law.

“Rule of law” menempatkan hukum di atas politik. Sementara “rule by law” menempatkan hukum sebagai alat politik. Di bawah bendera penegakan hukum, kepentingan bisa disembunyikan.

Maka ketika seorang gubernur muda, yang belum genap setahun menjabat, dijatuhkan dengan proses yang cepat dan sorotan besar, publik berhak bertanya ,apakah hukum sedang bekerja, atau sedang diarahkan?

Proses hukum memang perlu ditegakkan, tetapi bila dijalankan dalam atmosfer politik yang sarat tekanan dan kepentingan, maka keadilan bisa berubah bentuk menjadi alat kekuasaan.

Skenario di Balik Ombak

Beberapa hari sebelum OTT, muncul isu panas di lingkungan pemerintahan Riau , tarik-menarik jabatan strategis, penolakan terhadap pengaruh partai tertentu, serta kabar reshuffle pejabat yang dinilai “tidak loyal” pada elite lama. Dalam waktu singkat, arah politik berubah.

Kemudian, penangkapan itu terjadi. Sejumlah pengamat melihat, penegakan hukum kali ini seperti menjadi bab pembuka dari pergeseran kekuasaan yang lebih luas. Kursi gubernur kini digantikan oleh sang wakil melalui mekanisme Plt.

Apakah hukum sedang membersihkan korupsi, atau membuka jalan bagi konsolidasi kekuasaan baru?

Jika benar ada tangan-tangan yang menunggangi proses hukum, maka rakyat Riau tidak hanya kehilangan gubernurnya, tapi juga kehilangan kepercayaannya pada hukum itu sendiri.

Krisis Konstitusionalitas dan Moral Kekuasaan

Dalam sistem otonomi daerah, gubernur bukan sekadar kepala pemerintahan, tapi juga simbol legitimasi rakyat. Ketika pemimpin daerah dijatuhkan dengan cara yang dipertanyakan, maka yang terguncang bukan hanya personal, melainkan prinsip rule of law itu sendiri.

Konstitusi menuntut agar kekuasaan dijalankan dengan moralitas dan hukum. Tapi ketika moral diabaikan dan hukum dijadikan alat politik, konstitusi hanya menjadi dekorasi formalitas.
Inilah krisis konstitusionalitas kita hari ini , hukum berjalan, tetapi kehilangan jiwa.

Bahaya Normalisasi Hukum yang Politis

Normalisasi terhadap penegakan hukum yang beraroma politik adalah bahaya besar. Masyarakat bisa kehilangan rasa percaya, dan menganggap setiap OTT sebagai bagian dari drama kekuasaan.

Padahal, tanpa kepercayaan publik, hukum kehilangan legitimasi moralnya. Yang tersisa hanyalah formalitas prosedur. Hukum boleh sah, tapi tidak adil.

Keadilan sejati bukan hanya soal menangkap yang bersalah, tapi memastikan prosesnya tidak dipakai untuk tujuan lain.

Keadilan yang Bisa Dipesan

Inilah paradoks penegakan hukum di banyak wilayah bahwa keadilan bisa tampak sah di atas kertas, namun salah arah dalam substansi. Semua proses bisa sesuai undang-undang, tetapi tujuan akhirnya justru politis.

Pergantian nakhoda kapal Riau dengan jalan yang tak biasa ini menjadi contoh nyata bahwa hukum seolah berlayar menuju keadilan, namun mungkin diarahkan oleh kompas politik.

Menutup Layar ; Pelajaran dari Riau

Kasus Abdul Wahid bukan sekadar kisah seorang pejabat yang jatuh, melainkan cermin dari rusaknya hubungan antara hukum dan kekuasaan di negeri ini.

Riau hanya panggung kecil dari drama besar bernama Indonesia, di mana hukum masih harus berjuang agar tak terus diperalat.

Pergantian nakhoda kapal dengan jalan yang tak biasa ini memberi pesan keras bahwa hukum yang kehilangan moral akan berubah menjadi alat kekuasaan, dan kekuasaan tanpa kontrol akan membawa kapal bangsa ke badai yang lebih besar.

Jakarta : 07 November 2025.

banner 500x130

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *