Mentengnews.com – Pekanbaru:
Pemilik dua media online yang aktif mengungkap berbagai kasus dugaan korupsi di Provinsi Riau, Ade Monchai, menegaskan bahwa dirinya menjalankan aktivitas jurnalistik dan advokasi publik secara terbuka, profesional, dan sesuai ketentuan Undang-Undang Pers. (13/11)
Penggunaan TikTok sebagai Media Penyebaran Informasi Publik
Platform TikTok yang digunakan oleh Mataxpost & Detikxpost bukan merupakan akun pribadi atau tempat mengekspresikan opini subjektif, melainkan bagian dari sistem distribusi informasi resmi media.
Dalam praktik kerja jurnalistik modern, banyak media di Indonesia dan dunia yang menggunakan TikTok, Instagram, dan Facebook untuk memperluas jangkauan publiknya, karena sebagian besar masyarakat kini mengonsumsi informasi melalui platform digital tersebut.
Ade Monchai menerapkan pola kerja yang sama: seluruh konten yang diunggah di TikTok adalah cuplikan, potongan, atau ringkasan dari berita resmi yang terlebih dahulu diterbitkan melalui portal utama Detikxpost.com dan Mataxpost.com.
Dengan demikian, konten TikTok bukan produk kreatif yang berdiri sendiri, bukan opini pribadi, dan bukan konten yang dibuat untuk menyerang atau menjatuhkan individu tertentu.
Fungsinya jelas: mendistribusikan karya jurnalistik kepada publik dengan format yang lebih mudah diakses, terutama bagi masyarakat yang tidak selalu membaca website berita secara langsung.
Konten TikTok tersebut:
1. Merupakan bagian tak terpisahkan dari karya jurnalistik, yang berada dalam lingkup perlindungan Undang-Undang Pers.
2. Tidak memuat informasi baru yang tidak ada dalam naskah berita, sehingga tidak ada rekayasa, framing baru, atau tambahan yang dapat mengubah substansi.
3. Tidak dibuat untuk mempermalukan, menyerang, ataupun mencemarkan nama baik siapa pun, melainkan untuk memberikan informasi publik sebagaimana fungsi pers.
4. Bersifat edukatif, bertujuan membantu masyarakat memahami isu yang sedang berkembang melalui format video informatif.
5. Selalu mencantumkan konteks berita, sehingga publik dapat menelusuri informasi lengkap di situs resmi Detikxpost.com dan Mataxpost.com.
Dengan demikian, keberadaan konten di TikTok tidak dapat dipisahkan dari produk jurnalistik utama, dan seluruhnya berada dalam koridor UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Oleh karena itu, sengketa yang timbul dari konten yang bersumber dari karya jurnalistik harus diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan melalui proses pidana sebagaimana diatur dalam UU ITE.
Ade dikenal sebagai jurnalis sekaligus aktivis anti-korupsi, serta pimpinan media siber Mataxpost.com dan Detikxpost.com, dua media yang berbadan hukum, punya akte pendirian notaris dan resmi terdaftar di Kominfo dan memiliki rekam jejak pemberitaan kritis terkait dugaan praktik korupsi pejabat daerah.
Dalam dua tahun terakhir, kedua media tersebut berperan dalam mengungkap sejumlah dugaan kasus korupsi yang kemudian berujung pada tindakan hukum oleh aparat penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Salah satu pemberitaan yang menonjol adalah laporan berjudul “Dugaan Penyelewengan APBD 2024 oleh Oknum Pejabat Pemkot Pekanbaru, Salah Satu Penyebab Terjadinya Defisit Anggaran” yang diterbitkan pada 12 November 2024.
Beberapa bulan setelah pemberitaan itu terbit, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Pj Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa dan Sekretaris Daerah Indra Pomi pada 2 Desember 2024, sejalan dengan informasi dan temuan awal yang disampaikan redaksi.
Pada 22 Juni 2025, Mataxpost kembali merilis laporan investigatif berjudul “Wamenaker atau Tukang Gaduh? Publik Desak Presiden Evaluasi Imanuel Ebenezer” yang menyoroti sikap arogansi dan dugaan tindakan menyimpang Wamenaker Imanuel Ebenezer (Noel) saat melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah perusahaan di Riau.
Pemberitaan tersebut turut memuat dugaan tekanan dan dugaan pemerasan terhadap perusahaan, dan temuan tersebut juga telah dilaporkan oleh tim media kepada KPK.
Beberapa bulan kemudian, pada 21 Agustus 2025, KPK melakukan OTT terhadap Wamenaker Imanuel Ebenezer, memperkuat relevansi dan akurasi temuan investigatif yang telah diungkapkan media sebelumnya.
Dalam proses investigasi lanjutan, redaksi memperoleh informasi mengenai dugaan aliran dana sebesar 10 ribu ringgit atau setara dengan Rp 50 juta dari oknum DPRD Pekanbaru berinisial ZK kepada Wamenaker, terkait kegiatan inspeksi ke PT Sanel Travel Pekanbaru.
Informasi tersebut kemudian diterbitkan dalam bentuk karya jurnalistik di Mataxpost.com dan Detikxpost.com dengan berita berjudul “Dugaan Suap ZK ke Wamenaker Noel Meledak, Kasus OTT KPK Makin Panas”.
Terkait berita dugaan ini, Ade Monchai dan tim Redaksi pernah dihubungi oleh oknum yang tidak dikenal dan meminta pemberitaan tersebut dihapus, namun Redaksi menegaskan bahwa jika subjek pemberitaan keberatan, redaksi menyediakan ruang hak jawab dan klarifikasi.
Selanjutnya, untuk memperluas jangkauan publik, redaksi menyebarkan cuplikan berita ke akun resmi media di Facebook, Instagram, dan TikTok.
Seluruh konten tersebut merupakan potongan dari berita resmi yang telah tayang dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ade menegaskan bahwa sebelum berita mengenai ZK ditayangkan, pihak redaksi telah berupaya menghubungi ZK melalui nomor pribadi untuk meminta klarifikasi, namun tidak mendapatkan respons. Proses peliputan tetap dilanjutkan sesuai prosedur kerja jurnalistik.
Potongan berita di TikTok inilah yang kemudian dijadikan dasar laporan ZK ke Polda Riau dan berujung pada pemanggilan klarifikasi terhadap Ade pada 12 November 2025.
Baru-baru ini, penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid dalam operasi OTT KPK juga berkaitan dengan rangkaian pemberitaan investigatif dari Mataxpost dan Detikxpost, sehingga publik bisa menilai bahwa kontribusi kedua media ini semakin mempertegas peran penting pers dalam memberantas korupsi di daerah.
Berdasarkan PP Nomor 43 Tahun 2018, masyarakat yang melaporkan tindak pidana korupsi secara bertanggung jawab berhak memperoleh premi hingga Rp 200 juta, piagam penghargaan, serta perlindungan fisik dan hukum dari LPSK atau KPK.
Meskipun premi tidak diberikan kepada institusi media, wartawan sebagai individu tetap masuk dalam kategori pelapor masyarakat.
Dengan demikian, sejumlah pihak menilai bahwa upaya Ade dalam membuka dugaan korupsi justru layak mendapatkan apresiasi dan perlindungan, bukan dilaporkan secara pidana karena menjalankan fungsi kontrol sosial.
Menanggapi pemanggilan dirinya oleh Polda Riau, Ade menegaskan bahwa seluruh kegiatannya merupakan bagian dari tugas jurnalistik yang dilindungi Undang-Undang Pers.
“Saya jurnalis dan aktivis anti korupsi. Saya mengelola dua media yang terdaftar di Kominfo dan semua konten yang dipublikasikan adalah karya jurnalistik. Tidak ada niat menyerang, mencemarkan nama baik, atau memfitnah siapa pun,” tegas Ade.
Ia menjelaskan bahwa cuplikan berita di TikTok hanyalah potongan dari berita resmi, sumber informasi dapat dipertanggung jawabkan, dan redaksi selalu membuka ruang hak jawab bagi pihak yang keberatan.
Menurutnya, aparat seharusnya lebih fokus memeriksa substansi dugaan suap yang diberitakan, bukan memanggil pihak yang mengungkapnya.
Ade menegaskan bahwa proses hukum yang ia hadapi tidak akan menghalangi komitmennya dalam menjalankan tugas jurnalistik dan advokasi publik. Untuk memastikan bahwa jalur penanganan sengketa berada pada koridor yang benar,
Ade telah mengirimkan surat resmi kepada Dewan Pers untuk meminta perlindungan sebagai jurnalis dan memastikan bahwa setiap sengketa pemberitaan harus diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers sesuai amanat UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Ia juga melayangkan surat laporan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk memastikan bahwa dugaan tindak pidana korupsi yang diberitakannya ditindaklanjuti secara serius, sekaligus mencegah penyimpangan proses hukum terhadap dirinya sebagai jurnalis pelapor.
“Ini bukan hanya soal saya pribadi, tetapi soal bagaimana negara menghargai kerja jurnalistik dan peran media dalam memberantas korupsi. Setiap sengketa pemberitaan harus diselesaikan di Dewan Pers, bukan di ranah pidana,” tegasnya.
Kasus yang menimpa Ade Monchai kembali menunjukkan pentingnya memahami fungsi pers sebagai pilar demokrasi dan mitra strategis negara dalam pemberantasan korupsi.
“Sebagai warga negara yang baik, kita menghargai proses hukum, namun pemanggilan klarifikasi soal TikTok harus dipastikan tidak berubah menjadi upaya membungkam kritik atau melemahkan peran jurnalis.”pungkas Ade
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 telah menegaskan bahwa setiap sengketa pemberitaan wajib diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan dengan kriminalisasi atau tekanan hukum terhadap jurnalis yang bekerja berdasarkan etika dan fakta.
Di tengah upaya nasional meningkatkan transparansi dan integritas publik, kerja-kerja jurnalistik yang kritis justru seharusnya dihargai, bukan dibungkam.
Untuk perlindungan profesi jurnalis Polri dan Dewan Pers juga telah bersepakat menjalin kerja sama ditandai melalui Nota Kesepahaman No: 03/DP/MoU/III/2022 Atau Nomor NK/4/III/2022 tentang koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum mengenai penyalahgunaan profesi wartawan.
Jurnalis dan media memerlukan ruang aman agar bisa terus menjalankan fungsi pengawasan tanpa rasa takut.
Perlindungan terhadap jurnalis bukan hanya kepentingan individu, melainkan syarat utama bagi tegaknya demokrasi, akuntabilitas, dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
(Rls)










