Mentengnews.com – Batam:
Ratusan kontainer berisi barang elektronik dalam keadaan tidak baru yang tertahan di Pelabuhan Batuampar telah menjelma menjadi salah satu polemik terbesar yang melibatkan industri, regulator, dan publik di Batam dalam beberapa bulan terakhir.
Isu apakah kontainer-kontainer itu mengandung atau terkontaminasi limbah berbahaya dan beracun (B3) terus bergulir tanpa kepastian, sementara perusahaan-perusahaan pengimpor berada pada posisi yang terus merugi sembari menunggu keputusan pemerintah.
Di antara perusahaan yang terlibat, PT Esun menjadi salah satu pihak yang paling vokal membuka data, mencoba menjelaskan duduk perkara dari sudut pandang industri pengolahan elektronik dalam keadaan tidak baru. Kepala biro hukum perusahaan, Andri, menyebutkan, banyak informasi yang berkembang di ruang publik telah menciptakan persepsi yang keliru.
Menurutnya, barang-barang yang mereka impor belum terbukti berada pada kategori limbah B3, melainkan barang elektronik dalam keadaan tidak baru yang diperlakukan sebagai bahan baku industri. Sudah ada definisi bahan baku dalam Permenperin No. 16/2021 yang secara eksplisit memasukkan barang mentah, barang setengah jadi, hingga barang jadi yang masih dapat diolah ulang sebagai bagian dari bahan baku bernilai ekonomi tinggi.
Dalam konteks inilah, perusahaan merasa perlu meluruskan bahwa istilah “limbah” tidak tepat digunakan.
Klarifikasi itu bukan sekadar pembelaan, tetapi juga upaya menghentikan stigma yang telanjur menyebar. rujukan ahli limbah B3 yang membedakan dengan tegas antara “limbah b3 elektronik” dan “barang elektronik dalam keadaan tidak baru yang dapat diolah kembali sebagai bahan baku”, sebuah perbedaan yang mereka nilai sangat fundamental namun kerap terabaikan dalam pemberitaan.
Selain masalah klasifikasi barang, perusahaan itu juga menanggapi langsung tuduhan pencemaran lingkungan, isu sensitif di tengah kekhawatiran publik. Selama ini, kata Andri, seluruh material yang masuk tidak pernah dibuang sembarangan mencemari lingkungan.
Barang elektronik yang diimpor diolah sepenuhnya, sebelum akhirnya diekspor kembali sebagai produk yang memiliki nilai ekonomi baru.
Demi memperkuat klaim itu, perusahaan merujuk pada hasil pemantauan rutin setiap 6 bulan yang dilakukan bersama Laboratorium Sucofindo terhadap kualitas udara, air limbah domestik, hingga limbah padat dan dilaporkan secara berkala ke dinas terkait.
Hasilnya, berdasarkan laporan internal, tidak ditemukan satu pun parameter yang melampaui baku mutu yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Jika ukuran kita adalah data resmi pengujian, maka sampai saat ini tidak ada bukti pencemaran lingkungan di fasilitas kami,” tegas Andri.
Di luar persoalan teknis, perusahaan juga menyinggung dimensi ekonomi yang kerap terlupakan dalam babak perdebatan publik. Industri pengolahan elektronik bekas di Batam telah menjadi salah satu sektor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah sangat besar, yakni lebih dari 2.000 orang, sebagian besar di antaranya adalah warga lokal yang bergantung pada kelangsungan industri ini. Seluruh proses pengolahan yang menghasilkan barang bernilai ekspor juga memberikan kontribusi pajak bagi negara.
Sebab itu, Andri mengingatkan bahwa polemik yang tidak kunjung menemukan kepastian dapat berujung pada gejolak sosial baru. “Jika kegiatan ini dihentikan secara tiba-tiba atau diganggu oleh keputusan yang tidak berbasis data, bukan tidak mungkin Batam menghadapi gelombang pengangguran,” ungkap dia.
PT Esun menilai, posisi mereka selama ini bukanlah pihak yang beroperasi di wilayah abu-abu hukum. Mereka menyampaikan bahwa izin dari BP Batam telah mereka kantongi sejak 2017, BP Batam pastinya mengelurkan izin ada kajian kelayakan yang cukup mendalam.
Dalam rantai perizinan tersebut, Bea Cukai Batam secara konsisten menerbitkan Surat Persetujuan Pemasukan Barang (SPPB) untuk barang yang dikategorikan sebagai bahan baku industri. Dalam sudut pandang perusahaan, hal ini menunjukkan bahwa negara sebenarnya sudah mengetahui karakter barang yang diimpor dan menilainya sesuai dengan kebutuhan industri yang sah.
Menurut Andri, memutuskan re-ekspor tanpa menunggu penetapan resmi justru dapat membuka potensi kerugian besar bagi industri, kerugian investasi yang pada akhirnya bisa saja ditanggung negara jika kemudian terbukti barang-barang itu bukan kategori elektronik limbah B3.
Dalam situasi seperti ini, ia menekankan pentingnya kehati-hatian, keputusan apa pun harus diambil berdasarkan data ilmiah dan pemeriksaan yang objektif, bukan tekanan opini publik atau ketidaksabaran untuk segera menyelesaikan polemik.
“Ini bukan hanya soal barang-barang di dalam kontainer, tetapi soal rasa keadilan dan konsistensi kepastian hukum berinvestasi atas kebijakan negara terhadap pelaku industri,” tutupnya.
Kini, bola berada sepenuhnya di tangan pemerintah dan lembaga teknis terkait. Sampai keputusan itu tiba, ratusan kontainer di Batuampar tetap menjadi simbol ketegangan antara kehati-hatian regulator, kekhawatiran masyarakat, dan argumen pelaku industri yang meminta agar penilaian dilakukan berdasarkan bukti, bukan asumsi.
(Red/Tim).










