Mentengnews.com – Pekanbaru:
Penanganan perkara dugaan pelanggaran ITE yang menjerat seorang ibu rumah tangga, M, kini memasuki titik paling krusial. Setelah rekaman, dokumen internal, dan rangkaian pemeriksaan memperlihatkan kejanggalan demi kejanggalan, kini analisis akademis–yuridis dari Dr. Yudi Krismen, S.H., M.H., memperlihatkan secara terang struktur kekeliruan penyidikan yang dilakukan di lingkungan Ditreskrimsus Polda Riau. Kombinasi temuan lapangan dan analisis itu memperkuat dugaan bahwa M adalah korban salah tangkap, salah prosedur, dan salah penerapan hukum.
Kasus ini bermula dari konflik antara E, W, dan L di TikTok. Namun justru M—yang tidak terlibat, tidak berseteru, dan tidak mengetahui perbuatan itu—yang diseret sebagai tersangka. Ia ditangkap, diperiksa, dan ditahan, meninggalkan dua balitanya. Pertanyaan utama publik kini mengarah pada bagaimana penyidik Polda Riau bisa sampai menetapkan seseorang yang bukan pelaku, tidak menikmati manfaat apa pun, dan tidak berada dalam lingkar konflik—sebagai tersangka dalam kasus ITE.
Indikasi pelanggaran prosedural mulai terlihat sejak penangkapan 26 September 2025. Modus yang digunakan adalah penyamaran sebagai kurir COD Shopee. Enam personel masuk rumah tanpa penjelasan administrasi wajib, beberapa merupakan polwan, lalu menyita HP milik M. Namun yang dijadikan barang bukti justru HP pinjaman, bukan HP pribadi M—padahal HP itu tidak pernah digunakan oleh M untuk unggahan yang dituduhkan. Dua balita M hampir ikut dibawa, menciptakan trauma mendalam. Tindakan ini menuai pertanyaan besar terkait legalitas penangkapan dan penyitaan yang berada di bawah kewenangan Ditreskrimsus Polda Riau.
Dalam pemeriksaan lebih jauh, ditemukan sedikitnya 16–17 kejanggalan serius: tidak ada SP2HP kepada keluarga, penyidik tidak memeriksa saksi kunci, forensik digital tidak ditemukan, tidak ada ahli ITE sebelum penetapan tersangka, gelar perkara berjalan cepat tanpa transparansi, hingga barang bukti bukan milik M. Temuan-temuan ini, jika benar, berpotensi melanggar KUHAP, UU ITE, Perkap 6/2019 tentang Manajemen Penyidikan, serta Kode Etik Profesi Polri.
Di tengah situasi penuh tanda tanya itu, hadir analisis hukum yang sangat penting dari Dr. Yudi Krismen—doktor hukum dengan predikat cum laude Universitas Padjadjaran, mantan penyidik, akademisi UIR, dan pimpinan Law Firm Dr. Yudi Krismen Us & Partners. Dalam wawancara eksklusif pada Kamis, 20 November 2025, ia menjelaskan struktur kekeliruan penyidik secara rinci berdasarkan dokumen resmi.
Yudi membawa dan memaparkan dokumen hukum LPIB/296/VII/2025/SPKT/POLDA RIAU tanggal 10 Juli 2025 serta SP. Sidik/71/VI/RES.25/2025/Ditreskrimsus tanggal 22 Juli 2025, sebagai dasar untuk melihat siapa subjek hukum yang tepat dan bagaimana alur penyidikan seharusnya berjalan. Menurutnya, penyidik keliru sejak membaca laporan. Pelapor adalah W, tetapi yang menggunakan HP M untuk membuat unggahan adalah L—istri sah yang meminjam HP M dan melakukan unggahan tanpa sepengetahuan pemiliknya. “Secara hukum, pelaku perbuatan itu adalah L, bukan M,” tegasnya.
Yudi menjelaskan bahwa unggahan yang menjadi objek perkara itu dibuat melalui ponsel M, namun bukan oleh M. Ketika mengetahui HP-nya dipakai, M langsung menghapus unggahan tersebut. “Ini murni salah orang. Yang berbuat tidak disentuh, yang tidak tahu apa-apa justru dipenjara. Secara hukum, M tidak bisa dipidana karena bukan dia pelakunya,” ujar Yudi.
Ia menekankan bahwa penyidik seharusnya melakukan penyelidikan terlebih dahulu, bukan langsung penyidikan. Tanpa pemeriksaan saksi kunci dan tanpa memastikan siapa operator yang sebenarnya, penetapan tersangka M menjadi cacat fundamental. “P21 tidak memiliki dasar kuat. Karena sejak awal, objek materil yang diperiksa bukan pelakunya. Ini membuka ruang praperadilan yang sangat besar,” ungkapnya.
Dalam kapasitasnya sebagai mantan penyidik, Yudi mengatakan penyidik Ditreskrimsus seharusnya dapat membaca struktur hubungan antara pelapor, peristiwa, perangkat yang digunakan, waktu unggah, dan pengguna perangkat. Namun dalam kasus M, struktur dasar itu justru terputus. “Yang mengunggah adalah L. Media unggahnya memakai HP M. Itu harusnya sudah cukup bagi penyidik untuk menentukan arah penegakan hukum. Tidak boleh orang yang tidak berbuat menjadi tersangka,” katanya.
Pernyataan Yudi menjadi kritik paling keras terhadap proses penyidikan Polda Riau. Ia menyebut penahanan M selama 12 hari tanpa kecermatan prosedural merupakan langkah yang membuka ruang gugatan, termasuk permohonan ganti rugi immateriil dan pemulihan nama baik. “Ini bukan sekadar kesalahan administratif. Ini kesalahan substantif yang merugikan hak-hak warga negara,” tegasnya.
Sementara itu, upaya konfirmasi media kepada Polda Riau justru menemui jalan buntu. Pada Senin, 17 November 2025, Kabid Humas tidak berada di tempat, dan pihak Bid Humas meminta waktu dua hingga tiga hari. Pada Kamis, 20 November 2025, Kabid Humas Kombes Pol Anom Karibianto tetap tidak berada di kantor. Tim melanjutkan ke Ditreskrimsus, namun piket menyatakan pejabat tidak ada di tempat, dan penyidik disebut dinas luar. Hingga rilis ini diterbitkan, tidak ada satu pun jawaban resmi yang diberikan Polda Riau.
Kasus M kini menjadi ujian nyata bagi integritas penegakan hukum di Riau. Semua mata tertuju pada Kapolda Riau Irjen Pol Heri Irawan, Dirreskrimsus Kombes Pol Reynaldy, dan Kabid Propam Polda Riau. Publik menuntut pemeriksaan etik terhadap oknum penyidik, peninjauan ulang proses penyidikan, serta tindakan tegas agar kasus seperti ini tidak terulang. Pernyataan Dr. Yudi Krismen sudah membuka tabir hukum secara lengkap—selebihnya, publik menunggu pembuktian komitmen Polda Riau terhadap keadilan dan profesionalitas institusi.
(Rls/Tim)














